Bali dikenal oleh wisatawan mancanegara atau domestik karena keberagaman tradisi dan berbagai macam seni budaya dan tradisi yang unik dan berbeda.
Salah satu tradisi budaya yang sampai saat ini masih dipegang teguh dan dilestarikan oleh masyarakat Bali, tepatnya di Desa Seraya yakni Gebug Ende yang bertujuan memohon turunnya hujan demi kesuburan lahan pertanian yang berhubungan dengan ritual keagamaan. Di Desa Seraya pada masa lalu sering kali mengalami kekeringan karena hujan merupakan sesuatu yang langka disamping letak geographis Desa Seraya yang berada disebuah dataran tinggi sehingga kecendrungan tanah yang tandus dan kering pada musim kemarau panjang. Hal ini tentunya tidak menguntungkan bagi mereka yang berprofesi sebagai petani. Sehingga masyarakat Desa Seraya sepakat untuk melaksanakan ritual dari tradisi yang sangat disakralkan yakni Gebug Ende. Gebug Ende berasal dari kata gebug yang berarti memukul dan ende yang berarti alat atau tameng (perisai) yang digunakan untuk menangkis.
Sebagai alat pemukul digunakan rotan dengan panjang sekitar 1,5 meter sementara alat untuk menangkis terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam berbentuk lingkaran. Gebug Ende dimainkan oleh dua orang laki-laki , baik dewasa maupun anak-anak. Dalam Gebug Ende dikenal dengan dua orang pemain yang berperan sebagai 'saya' (wasit) yang mengawasi permainan berjalan dengan adil. Pemain yang dipasangkan juga haruslah memiliki postur tubuh yang seimbang.
Sebelum permainan Gebug Ende dilanjutkan, ada 'uger-uger' atau peraturan yang wajib ditaati oleh para pemain Gebug Ende, yakni; pemain hanya boleh memukul diatas pinggang sampai kepala dan tidak boleh memukul bagian bawah pinggang sampai kaki. Ketika permainan Gebug Ende dilakukan, ada kalanya para pemain sampai berdarah yang diyakini sebagai pertanda hujan yang dinanti-nantikan akan segera turun.
Permainan Gebug Ende juga merefleksikan semangat heroisme masyrakat Desa Seraya yang konon dipercaya sebagai prajurit perang Raja Karangasem. Pada jamannya, orang asli Seraya diyakini memiliki kekuatan dan kekebalan yang bertugas untuk menggempur kerajaan Selaparang di Lombok Barat dengan bersenjatakan Gebug dan tameng
Daerah Karangasem memiliki budaya yang unik dan berbeda dan cenderung agak keras. Beberapa diantaranya yakni perang pandan di Desa Tenganan dan Perang Api di daerah Jasri (dan juga terkenal dengan Chocolat Factory) yang disebut Ter-teran